Gas Air Mata Kena Mata, Sudah Diolesi Odol, Ternyata Tidak Berpengaruh

Gas Air Mata Kena Mata, Sudah Diolesi Odol, Ternyata Tidak Berpengaruh Gas Air Mata Kena Mata, Sudah Diolesi Odol, Ternyata Tidak Berpengaruh

Tembakan gas air mata saat pertandingan ternyata pun tahu dirasakan para pemain dempet lapangan. Itu terjadi atas semifinal Liga Kansas 1996–1997 yang mempertemukan Bandung Raya demi Mitra Surabaya.

Beberapa mantan pemain nan tampil di semifinal kala itu memberikan kesaksiannya kepada Jawa Pos.

—-

SAYA tidak bisa membanankan bagaimana tersiksanya para bulan-bulanan sebelum dijemput ajal ketika menghirup gas air mata dalam Stadion Kanjuruhan Sabtu (1/10) segera. Bagaimana kusamnya mata mereka, dada mereka. Bagaimana paniknya mereka.

Sebab, saya masih ingat betul bagaimana perihnya gas air mata. Saya pernah merasakannya. Tepatnya ketika semifinal Liga Kansas atas tahun 1997 lalu. Saat itu tim saya Bandung Raya melawan Mitra Surabaya.

Saat itu, tepat dempet tribun belakang gawang saya, tribun utara Stadion Gelora Bung Karno, ada kerusuhan. Polisi yang berjaga menembakkan gas air mata ke arah tribun. Ingat, ke arah tribun ya. Karena tidak ada satu pun penonton yang turun ke lapangan saat itu. Kerusuhan dempet tribun.

Penginnya gas air mata itu bisa membuyarkan kerusuhan. Tapi, daperbincangan, kami (pemain, Red), terhadir saya akan jaraknya 15 meter dengan tribun, ikut merasakannya. Kami merasakannya karena gas akan ditembakkan ikut terbawa angin lagi mengarah kepada pemain hadapan lapangan. Mata saya perih. Dada saya sesak saat itu.

Saya ingat betul bagaimana wasit yang memimpin daripada Korea Selatan berlari terhuyung-huyung menyelamatkan diri. Pemain-pemain pula panik, mencari air mineral. Saya pula begitu, perih sekali mata. Semakin dikucek, semakin perih rasanya.

Kami sempat diberi odol di bawah mata yang katanya meneladan menghilangkan rasa perih, tapi lemahnya tidak berpengaruh. Semua pemain, yang fisiknya bagus-bagus itu, KO karena gas air mata. Sekali lagi ya, gas air mata itu ditembakkan ke tribun. Kami di lapangan tetapi kena anginnya.

Kena anginnya saja, rasa perih bersama sesak dekat dada saya rasakan sampai malam hari. Kami semua tidak berkuasa bertanding lagi sore itu. Pertandingan ditunda bersama dilanjutkan esok paginya.

Jadi, saya tidak bisa membaadapunkan bagaimana suporter antara Kanjuruhan. Mereka merasakan langsung gas air mata. Dalam kondisi panik, gelap, dan sesak. Saya tidak bisa membaadapunkan betapa kacaunya. Terinjak-injak, sulit bernapas, hingga akhirnya meninggal. Nauzubillah.

PT LIB pantas bertanggung respons atas peristiwa itu. Khususnya apa pasal pertandingan dengan rivalitas mewah dimainkan atas malam hari. Jangan namun mementingkan uang saja, pikirkan kemanusiaan juga.

Jangan cuma memikirkan televisi. Main malam saja supaya orang nonton televisi. Mas, saya sekarang sudah umur 60 tahun, separo hidup saya hadapan sepak bola. Baru hadapan Liga 1 ini sama musim lantas, saya merasakan pertandingan dilangsungkan malam hari.

Dulu tidak ada. Paling malam habis magrib. Coba ingat, Bandung Raya melawan Mitra Surabaya demi semifinal Liga Kansas saat itu mainnya jam berapa? Sore kan?

Padahal laga berguna atas dua tim gede. Tetap sore hari demi keamanan. Sepak bola kita semakin mundur. Bukan maju. Semakin tidak memikirkan keselamatan orang di dalamnya.

Hanya untuk televisi saja. Saya berkesalcita sekedalam-kedalamnya. Dan semoga sepak bola Indonesia tidak memakan nyawa lagi.

HERMANSYAH, kiper Bandung Raya ketika peristiwa gas air mata di semifinal Liga Kansas 1996–1997 melawan Mitra Surabaya